Siti Aisyah
memiliki gelar ash-Shiddiqah, sering dipanggil dengan Ummu Mukminin, dan nama
keluarganya adalah Ummu Abdullah. Kadang-kadang ia juga dijuluki Humaira’. Namun
Rasulullah sering memanggilnya Binti ash-Shiddiq. Ayah Aisyah bernama Abdullah,
dijuluki dengan Abu Bakar. Ia terkenal dengan gelar ash-Shiddiq. Ibunya bernama
Ummu Ruman. Ia berasal dari suku Quraisy kabilah Taimi di pihak ayahnya dan dari
kabilah Kinanah di pihak ibu.
Sementara itu, garis keturunan Siti Aisyah dari pihak ayahnya adalah Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Umar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Fahr bin Malik. Sedangkan dari pihak ibu adalah Aisyah binti Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abd Syams bin Itab bin Adzinah bin Sabi’ bin Wahban bin Harits bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.
Sementara itu, garis keturunan Siti Aisyah dari pihak ayahnya adalah Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Umar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Fahr bin Malik. Sedangkan dari pihak ibu adalah Aisyah binti Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abd Syams bin Itab bin Adzinah bin Sabi’ bin Wahban bin Harits bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.
Siti Aisyah lahir pada bulan Syawal tahun ke-9 sebelum hijrah, bertepatan
dengan bulan Juli tahun 614 Masehi, yaitu akhir tahun ke-5 kenabian. Kala itu,
tidak ada satu keluarga muslim pun yang menyamai keluarga Abu Bakar ash-Shiddiq
dalam hal jihad dan pengorbanannya demi penyebaran agama
Islam. Rumah Abu Bakar saat itu menjadi tempat yang penuh berkah, tempat makna
tertinggi kemuliaan, kebahagiaan, kehormatan, dan kesucian, dimana cahaya mentari Islam
pertama terpancar dengan terang.
Dari perkembangan fisik, Siti Aisyah termasuk perempuan yang
sangat cepat tumbuh dan berkembang. Ketika menginjak usia sembilan
atau sepuluh tahun, ia menjadi gemuk dan penampilannya kelihatan bagus, padahal
saat masih kecil, ia sangat kurus. Dan ketika dewasa, tubuhnya semakin besar dan penuh
berisi. Aisyah adalah wanita berkulit putih dan berparas elok dan cantik.
Oleh karena itu, ia dikenal dengan julukan Humaira’
(yang pipinya kemerah-merahan). Ia juga perempuan yang manis, tubuhnya
langsing, matanya besar, rambutnya keriting, dan wajahnya cerah.
Tanda-tanda ketinggian derajat dan kebahagiaan telah tampak sejak Siti Aisyah
masih kecil pada perilaku dan grak-geriknya. Namun, seorang anak
kecil tetaplah anak kecil, dia tetap suka bermain-main. Walau masih kecil,
Aisyah tidak lupa tetap menjaga etika dan adab sopan santun ajaran Rasulullah di
setiap kesempatan.
Rasulullah SAW membuka lembaran kehidupan rumah
tangganya dengan Aisyah r.a yang telah banyak dikenal. Ketika wahyu datang pada
Rasulullah SAW, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya didunia dan
diakhirat, sebagaimana diterangkan didalam hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah
r.a, Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutra hijau kepada Nabi SAW,
lalu berkata.' Ini adalah istrimu didunia dan di akhirat." Dialah yang
menjadi sebab atas turunnya firman Allah SWT yang menerangkan kesuciannya dan
membebaskannya dari fitnah orang-orang munafik.
Semasa kecil dia bermain-main dengan lincah,
dan ketika dinikahi Rasulullah SAW usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam
sebagian besar riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW membiarkannya
bermain-main dengan teman-temannya. Dua tahun setelah wafatnya Khadijah r.a
datang wahyu kepada Nabi SAW untuk menikahi Aisyah r.a. Setelah itu Nabi SAW
berkata kepada Aisyah, " Aku melihatmu dalam tidurku tiga malam
berturut-turut. Malaikat mendatangiku dengan membawa gambarmu pada selembar
sutra seraya berkata,' Ini adalah istrimu.' Ketika aku membuka tabirnya,
tampaklah wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya,' Jika ini benar dari Allah
SWT , niscaya akan terlaksana."
Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan
istrinya sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah SAW setuju menikahi
putri mereka, Aisyah. Beliau mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah
pertunangan yang penuh berkah itu. Setelah pertunangan itu, Rasulullah SAW
hijrah ke Madinah bersama para sahabat, sementara istri-istri beliau
ditinggalkan di Makkah. Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus
orang untuk menjemput mereka, termasuk didalamnya Aisyah r.a. Dengan izin Allah
SWT menikahlah Aisyah dengan mas kawin 500 dirham. Aisyah tinggal dikamar yang
berdampingan dengan masjid Nabawi. Dikamar itulah wahyu banyak turun, sehingga
kamar itu disebut juga sebagai tempat turunnya wahyu. Dihati Rasulullah SAW,
kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan tidak dialami oleh istri-istri beliau
yang lain. Didalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan,
" Cinta pertama yang terjadi didalam Islam adalah cintanya Rasulullah SAW
kepada Aisyah r.a."
Didalam riwayat Tirmidzi dikisahkan "Bahwa
ada seseorang yang menghina Aisyah dihadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar
berseru kepadanya,' Sungguh celaka kamu. Kamu telah menyakiti istri kecintaan Rasulullah
SAW." Sekalipun perasaan cemburu istri-istri Rasulullah SAW terhadap
Aisyah sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan Aisyah yang sangat
terhormat. Bahkan ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata, 'Demi Allah SWT,
dia adalah manusia yang paling beliau cintai selain ayahnya (Abu Bakar)'.
Di antara isteri-isteri Rasulullah SAW, Saudah bin
Zum`ah sangat memahami keutamaan-keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan
seluruh malam bagiannya untuk Aisyah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Aisyah sangat memperhatikan sesuatu yang menjadikan Rasulullah SAW rela. Dia
menjaga agar jangan sampai beliau menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan
darinya. Karena itu, salah satunya, dia senantiasa mengenakan pakaian yang
bagus dan selalu berhias untuk Rasulullah SAW.
Menjelang wafat, Rasulullah SAW meminta
izin kepada istri-istrinya untuk beristirahat dirumah Aisyah selama sakitnya
hingga wafat. Dalam hal ini Aisyah berkata, "Merupakan kenikmatan bagiku
karena Rasulullah SAW wafat dipangkuanku." Bagi Aisyah, menetapnya
Rasulullah SAW selama sakit dikamarnya merupakan kehormatan yang sangat besar
karena dia dapat merawat beliau hingga akhir hayat. Rasulullah SAW dikuburkan
dikamar Aisyah, tepat ditempat beliau meninggal. Sementara itu, dalam tidurnya,
Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal
ini kepada ayahnya, Abu Bakar berkata, "Jika yang engkau lihat itu benar,
maka dirumahmu akan dikuburkan tiga orang yang paling mulia dimuka bumi."
Ketika Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar berkata, "Beliau adalah orang yang
paling mulia diantara ketiga bulanmu." Ternyata Abu Bakar dan Umar dikubur
dirumah Aisyah.
Setelah Rasulullah SAW wafat, Aisyah
senantiasa dihadapkan pada cobaan yang sangat berat, namun dia menghadapinya
dengan hati yang sabar, penuh kerelaan terhadap taqdir Allah SWT dan selalu
berdiam dirididalam rumah semata-mata untuk taat kepada Allah SWT. Rumah Aisyah
senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru untuk menimba ilmu atau
untuk berziarah kemakam Nabi SAW. Ketika istri-istri Nabi SAW hendak mengutus
Ustman menghadap khalifah Abu Bakar untuk menanyakan harta warisan Nabi SAW
yang merupakan bagian mereka, Aisyah justru berkata, "Bukankah Rasulullah
SAW telah berkata, 'Kami paranabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa yang
kami tinggalkan itu adalah sedekah." Dalam penetapan hukum pun, Aisyah
kerap langsung menemui wanita-wanita yang melanggar syariat Islam. Didalam
Thabaqat, Ibnu Saad mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul
Mukminin Aisyah r.a. Ketika itu Hafshah mengenakan kerudung tipis. Secepat
kilat Aisyah menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang
tebal. Aisyah tidak pernah mempermudah hukum kecuali jika sudah jelas dalilnya
dari Al Qur`an dan Sunnah. Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan
Rasulullah SAW sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu kepada beliau. Aisyah
pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah SAW jika
menemukan sesuatu yang belum dia pahami tentang suatu ayat. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa ia memperoleh ilmu langsung dari Rasulullah SAW. Aisyah
termasuk wanita yang banyak menghapalkanhadits-hadits Nabi SAW, sehingga para
ahli hadits menempatkan dia pada urutan kelima dari para penghapal hadits
setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik dan Ibnu Abbas.
Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad,
Sayyidah Aisyah wafat pada usia 66 th, bertepatan dengan bulan Ramadhan,th
ke-58 H, dan dikuburkan di Baqi`. Kehidupan Aisyah penuh dengan kemuliaan,
kezuhudan, ketawadhuan, pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah SAW, selalu
beribadah serta senantiasa melaksanakan shalat malam. Selain itu, Aisyah banyak
mengeluarkan sedekah sehingga didalam rumahnya tidak akan ditemukan uang satu
dirham atau satu dinar pun. Dimana sabda Rasul, "Berjaga dirilah engkau
dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma." (HR. Ahmad )
Riwayat dari Siti Aisyah, ketika beliau sedang
duduk-duduk dirumah, datanglah Nabi serta mengucap salam serta dibalas salamnya
oleh Siti Aisyah sambil mahu bangun berdiri untuk menyambut Nabi Muhammad
s.a.w. sebagaimana biasanya beliau menyambut kedatangan Nabi sebagai suaminya.
"Tak usah" kata Nabi.
"Duduklah di tempatmu semula, karena ada yang akan aku sampaikan kepadamu,
hai Ummul-mukminin" (ibu terhadap orang-orang mukmin).
Siti Aisyah tidak jadi berdiri, beliau terus duduk
disitu iaitu dilantai, lalu Nabi meletakan kepalanya ke pangkuan Siti Aisyah,
terus beliau tertidur dipangkuannya, rupanya Nabi sangat letih pada hari itu.
Begitulah sayangnya Nabi pada istrinya, dan demikian sayangnya Siti Aisyah
kepada suaminya. Siti Aisyah pada ketika itu kira-kira berada dalam lingkungan
umur 20 tahun lebih sedangkan Nabi sudah berumur 56 Tahun.
Kemudian setelah itu, Siti Aisyah merenung dalam-dalam
wajah suaminya yang sedang tertidur lena dipangkuannya. Siti Aisyah membelai
janggut Nabi, yang mana ternampaklah beberapa helai janggut Nabi yang sudah
memutih. Jika tidak salah, sudah ada sembilan lembar yang telah memutih. Maka
ketika itu terfikirlah didalam hati Siti Aisyah :
"Aduhai! Rupanya tidak lama lagi beliau akan pulang meninggalkan aku
(wafat)... bagaimana kelak nanti jadinya, suatu umat tanpa Nabi? Dan
bagaimanakah kelak hidupku tanpa suami?”
Seketika itu berlinanganlah air mata Siti Aisyah di
pipinya, lalu jatuh berderai-derai membasahi muka Nabi.
Karena hangatnya air mata Siti Aisyah, lantas Nabi
Muhammad terjaga dan berkata dengan lemah lembut: "Wahai
Ummul-mu'minin, mengapa engkau menangis, apakah gerangan yang menyebabkan
engkau jadi bersedih hati?"
Kemudian Siti Aisyah menjawab dengan linangan air mata:
"Terbayanglah padaku pada masa yang akan datang. Bagaimanakah bila engkau
esok lusa sudah menutup mata? Dan bagaimana kelak keadaan umatmu ketika itu?
Dan bagaimanakah halku nanti hidup tanpa suami yang tempat aku mencurahkan rasa
cinta? Kepada siapakah aku mengadukan nasibku, suami tak ada ayahpun tak
punya?"
Kemudian Nabi balik bertanya: "Apakah lagi
yang engkau takutkan selain dari itu?"
Jawab Siti Aisyah: "Entahlah terserahlah
engkau saja ya rasul yang dapat menerangkannya"
Kata Nabi: Sebenarnya yang lebih berasa sedih
adalah si mati itu sendiri, iaitu ketika jenazah dibawa keluar dari rumahnya,
dia harus berpisah dari anak isterinya, berpisah dari kaum kerabatnya. Yang
lebih terasa lagi bila ia sudah berada di dalam kubur. Berasa benar-benar
dirinya sudah terasing, terasalah padanya benar-benar badannya sudah mati.
Matilah jasadnya sedangkan si-Roh sudahpun berada di luar badan yang tidak
mungkin dia akan masuk lagi pada jasadnya itu. Ketika itu, barulah dia tersedar
bahawa dia telah berada di alam yang lain dari yang lain, di suatu alam yang
tersembunyi oleh pandangan mata manusia. Alam itu ialah Alam Barzakh ataupun alam kubur, ertinya alam
yang tertutup dari pandangan mata"….
Dalam hidupnya yang penuh jihad, Siti Aisyah wafat dikarenakan
sakit pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58
Hijriah. Ia dimakamkan di Baqi’. Aisyah dimakamkan pada malam itu juga (malam
Selasa tanggal 17 Ramadhan) setelah shalat witir. Ketika itu, Abu Hurairah
datang lalu menshalati jenazah Aisyah, lalu orang-orang pun berkumpul, para
penduduk yang tinggal di kawasan-kawasan atas pun turun dan datang
melayat. Tidak ada seorang pun yang ketika itu meninggal dunia
dilayat oleh sebegitu banyak orang melebihi pelayat kematian Aisyah.
Sumber Asli:
- Arief, Nurhaeni. Engkau Bidadari
Para Penghuni Surga, Kisah Teladan Wanita Saleha. Kafila: Yogyakarta: 2008
- Taman, Muslich. Pesona Dua Ummul
Mukminin, Teladan Terbaik Menjadi Wanita Sukses dan Mulia.
Pustaka Al-Kautsar: Jakarta. 2008
- Razwy, Syeda. A. Khadijah, The
Greatest of First Lady of Islam. Alawiyah Abdurrahman (terj.). Mizan Publika:
Jakarta. 2007
- an-Nadawi, Sulaiman. ‘Aisyah,
The Greatest Woman in Islam. Firdaus (terj.). Qisthi: Jakarta. 2007
- asy-Syathi’, Aisyah Abdurrahman.
Nisa’ an-Nabiy Alaihi ash-Shalatu wa as-Salam. Zaki Alkaf (terj.). Pustaka Hidayah:
Bandung. 2001
- Anwar Suran Post – Mac 2012
Meluruskan Riwayat Pernikahan Siti Aisyah Ra
Seorang teman Kristen suatu kali bertanya ke saya, ” Akankah anda
pernikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur
50 tahun?” Saya terdiam. Dia melanjutkan,” Jika anda tidak akan melakukannya,
bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah,
dengan Nabi anda?” Saya katakan padanya, “Saya tidak punya jawaban untuk
pertanyaan anda pada saat ini.” Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya
dengan guncangan dalam batin saya akan agama saya.
Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima
masyarakat pada saat itu. Jika tidak, Orang-orang akan merasa keberatan dengan
pernikahan Nabi saw dengan Aisyah. Bagaimanapun, penjelasan seperti ini
akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya
tidak cukup puas dengan penjelasan seperti itu.
Nabi merupakan manusia tauladan.
Semua tindakannya paling patut dicontoh sehingga kita, Muslim dapat
meneladaninya. Bagaimanapun, kebanyakan orang di Islam, termasuk saya, Tidak
akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 7 tahun
dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan
pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan
memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua
Saya percaya, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan saya
terhadap Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis berumur 7 tahun dengan Nabi
berumur 50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya
dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar
adanya. Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos berumur
7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam
literatur hadist. Lebih jauh, saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini
sangatlah tidak bisa dipercaya.
Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada
saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tsb sangat bermasalah. Saya akan
menyajikan beberapa bukti dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang
tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.
Bukti 1: Pengujian Terhadap Sumber
Sebagaian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercatat di
hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat
atas otoritas dari Bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus
mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di
Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru
menceritakan hal ini, di samping kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah
termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini.
Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, dimana Hisham
tinggal di sana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua.
Tehzibu’l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para
periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : “Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali
apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq“
(Tehzi’bu’l-tehzi’b, Ibn Hajar Al- ‘asqala’ni, Dar Ihya al-turath
al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50). Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa
Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: ”
Saya pernah dikasih tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari
orang-orang Iraq” (Tehzi’b u’l-tehzi’b, IbnHajar Al- `asqala’ni, Dar Ihya
al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).
Mizanu’l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada
periwayat hadist Nabi saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami
kemunduran yang mencolok” (Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi,
Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).
Kesimpulan:
berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah jelek dan riwayatnya
setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya
mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.
Bukti 2: Turunnya Surat al-Qamar
(Bulan)
Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan
sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat
mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda ketika Surah Al-Qamar diturunkan”
(Sahih Bukhari, kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu
Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).
Surat 54 dari Quran (Al-Qamar) diturunkan pada tahun ke delapan
sebelum hijriyah (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa
surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. Jika Aisyah memulai
berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih
bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan.
Menurut riwayat di atas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah
gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah
berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon).
Jadi,
Aisyah, telah menjadi gadis mudah bukan bayi, jadi telah berusia 6-13
tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti
berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.
Kesimpulan:
riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang
berusia 9 tahun.
Bukti 3: Terminologi bahasa Arab
Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri
pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi
untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepada nya ttg pilihan yang ada di pikiran
Khaulah. Khaulah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau
seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya ttg
identitas gadis tsb (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.
Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata
bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata
yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah adalah
jariyah. Bikr di sisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah
serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaiaman kita
pahami dalam bahasa Inggris “virgin”.
Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah
“wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya
al-turath al-`arabi, Beirut).
Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist di
atas adalah “wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam
pernikahan.”Oleh karena itu, Aisyah a- dalah seorang wanita dewasa pada
waktu menikahnya.
Bukti 4. Text Qur’an
Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita
perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kabut
kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam
mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran
mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 9 tahun?
Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti
itu. Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik
dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim
juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri. Ayat tsb mengatakan
Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik. (Qs. 4:5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (Qs. 4:6)
Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim
diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik
mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum
mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan. Di sini, ayat Qur’an
menyatakan ttg butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan
intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia
nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.
Dalam ayat yang sangat jelas di atas, tidak ada seorangpun dari
muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan
pada seorang gadis belia berusia 9 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai
gadis belia berusia 9 tahun dalam pengelolaan keuangan, gadis tsb secara tidak
memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal
(Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang
berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambi
tugas sebagai isteri.
Kesimpulan:
Pernikahan
Aisyah pada usia 9 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan
Qur’an. Oleh karena itu, cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 9 tahun adalah
mitos semata.
Bukti 5: Umur Aisyah dihitung
dari umur Asma’
Menurut Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d: “Asma lebih tua 10 tahun
dibanding
Aisyah (Siyar A`la’ma’l-nubala’, Al-Z.ahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic,
Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992). Menurut Ibn Kathir: “Asma lebih tua 10
tahun dari adiknya [Aisyah]“ (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir,
Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, > Al-jizah, 1933).
Menurut Ibn Kathir: “Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73
H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10
atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari
kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma
Meninggal, dia berusia 100 tahun” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8,
p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: “Asma hidup sampai 100 tahun dan
meninggal pada 73 atau 74 H.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654,
Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow). Menurut sebagaian besar ahli
sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma
wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28
tahun ketika hijrah (622M).
Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah
tangga),
Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah,
berusia 17 atau 18 tahun. ketika hijrah pada tahun dimana Aisyah berumah
tangga.
Kronologi : Adalah perlu untuk mencatat dan mengingat beberapa
tahun penting dalam sejarah Islam:
pra-610 M:
Jahiliya (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M:
turun wahyu pertama
613 M:
Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M:
Hijrah ke Abyssinia.
622 M:
Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medinah
623/624 M:
dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah
Berdasarkan bukti-bukti yang saya uraikan diatas dapat kita
simpulkan bahwa, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn
`Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran karena berkontradisksi dengan
riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima
riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk
Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak
reliable.
Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum
dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung
jawab-tanggung jawab. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menerima dan
mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah
kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tersebut
dan lebih layak
disebut sebagai mitos semata.[islamonline]
Semoga bermanfaat
Tlg ya dibaca lagi haditsnya, mengenai hal ini tidak hanya d riwayatkan oleh Hisyam bin Urwah. Masih banyak perawi lainnya yg Tsiqaat. Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak akan sembarangan memasukan hadits jika itu adalah dhaif. Rasulullah Saw memang menikahi Siti Aisyah pda umur 6tahun dan mulai berumah tangga d umur 9tahun. Itu memang benar adanya. Namun pada jamannya, Siti Aisyah pada saat itu sudah mengalami kematangan baik secara fisik maupun pemikiran mskipun d kategorikan anak2. Berbeda dengan jaman skrg.
BalasHapusiya betul ya, saya juga lagi belajar.
Hapusjika Aisyah wafat di umur 66 di thn 58 H.
66-58 = 8thn